DAS Solo sebagai Kawasan Konservasi

Reorientasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo Sebagai Kawasan Konservasi Sebagai Upaya Pencegahan Bencana AlamOleh :  Mohammad Anwar Abstraksi Kawasan Daerah Aliran Sungai merupakan lahan terbuka disekitar sungai (termasuk sempadan sungai) dan memilki fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup (konservasi) yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Dalam beberapa tahun kawasan DAS mengalami degradasi lingkungan yang luar biasa karena pemanfaatan lahan yang menyalahi aturan serta terjadi alih fungsi lahan. Pada kondisi ini fungsi ekologi kawasan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem telah melebihi daya dukungnya. Fakta-fakta empiris menyebutkan bahwa kawasan DAS solo hulu-hilir telah mengalami erosi cukup berat yang ditandai dengan permunculan batuan induk, erosi parit dan sedimentasi dari 102 Sub DAS di DAS Solo yang meliputi 23 wilayah kabupaten, ada 28 Sub DAS yang memiliki potensi erosi besar. Erosi aktual yang terjadi terkecil adalah 4,72 ton/Ha/th.Upaya penyelamatan terhadap kawasan DAS dilakukan melalui ; (i) implementasi kebijakan operasional yang nyata, artinya peraturan-peraturan yang ada hendaknya diwujudkan dalam strategi kebijakan yang tegas; (ii) Pengelolaan kawasan melalui pendekatan partisipatory dan  pemberdayaan kepada masyarakat melalui cara agroforestry, dimana dapat bermanfaat secara ekologi juga terbukti menguntungkan pembangunan sosial ekonomi masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kapasitas masyarakat ;dan (iii) pemberian dana stimulus bagi masyarakat yang tinggal kawasan DAS guna menanami dengan tanaman tahunan bukan tanaman produktif. Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan dapat merecovery kawasan lindung (kawasan DAS) dapat berfungsi kembali sebagai kawasan konservasi, sehingga dapat mengurangi bencana alam dan pada akhirnya dapat mengoptimalkan kawasan DAS sebagai sumber daya pembangunan.1.       PendahuluanHarian kompas (16-01-08) memuat bahwa sebanyak 116 dari 141 daerah aliran sungai atau DAS di Pulau Jawa dalam kondisi memprihatinkan. Degradasi kualitas lahan membuat daya serap tanah terhadap air hujan hanya 46 persen. Tanpa penanganan serius, ancaman banjir dan longsor akan terus terjadi walau curah hujan relatif normal. Penyebab utama dari kondisi tersebut adalah tekanan pertumbuhan penduduk relatif tinggi yang berdampak pada perubahan fungsi lahan sehingga kawasan lindung disekitar Daerah Aliran Sungai yang seharusnya dikonservasi berubah menjadi permukiman, kawasan industri, dan pertanian.Disamping itu telah terjadi perubahan jenis tanaman dilahan kawasan lindung tersebut, yaitu dari tanaman keras seperti pohon jati, pinus, dan cemara telah berganti menjadi tanaman semusim seperti pisang dan jagung (horizon, 12-01-2008). Sebagai studi kasus, maka KLH mencatat bahwa hutan alam DAS Bengawan Solo berkurang 31,57 persen atau sekitar 11.023 hektare, yang kemudian berubah menjadi kebun campuran dan tanah terbuka. Luas area permukiman bertambah 97.216 hektare atau setara dengan 35,97 persen dibanding tahun 2007. Perubahan yang paling drastis terjadi di tutupan lahan berupa rawa. Pada tahun 2000 masih terdapat 3.212 hektare lahan rawa, tapi pada tahun 2007 rawa yang tersisa tinggal tiga hektare saja. Dengan kata lain, nyaris 100 persen rawa di sepanjang DAS Bengawan Solo raib dalam kurun waktu hanya tujuh tahun. Padahal, fungsinya sebagai penampung air hujan sangatlah vital bagi kawasan di sekitarnya (horizon, 12-01-2008).  Gambaran di atas menunjukkan bahwa kawasan Daerah Aliran Sungai  telah mengalami degradasi lahan yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan daya dukung lingkungan, sehingga mengakibatkan punahnya ekosistem yang ada. Hal ini akibat dari persepsi sebagian masyarakat atau bahkan penentu kebijakan yang menganggap bahwa kawasan disekitar sungai merupakan unit atau bagian terpisah dari pengelolaan daerah aliran sungai. Dengan demikian diperlukan upaya pendekatan pengelolaan kawasan DAS secara terpadu, menyeluruh dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.Hambatan penerapan kawasan DAS sebagai lahan konservasi (pelestarian) sebenarnya terletak pada good will penentu kebijakan, karena aturan pemanfaatan kawasan lindung sudah jelas diatur dalam undang-undang tata ruang baik ditingkat pusat maupun daerah. Disamping itu penyebab lainnya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang telah terbiasa memanfaatkan kawasan DAS tersebut sebagai lahan bercocok tanam sehingga dapat meningkatkan penghasilan.  Kondisi tersebut menjadikan pengelolaan kawasan DAS sebagai lahan konservasi dan sebagai penyangga tangkapan air terabaikan.  Hal ini perlu dicermati kembali prinsip 2E (Ekonomi-Ekologi), yaitu keberlanjutan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kesehatan lingkungan (Makalah S. Baja, 2007). Pada makalah ini akan menyajikan kondisi DAS saat ini, fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem ekologi, upaya-upaya pengelolaan yang seharusnya dilakukan dan dampak yang diakbatkan akibat rusaknya Daerah Aliran Sungai. 2.       Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS)2.1 Pengertian dan fungsiKawasan DAS merupakan kawasan berupa lahan terbuka yang berada disekitar sungai, termasuk sempadan sungai dan dalam satu kesatuan wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Sedangkan Daerah Aliran Sungai adalah daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian  mengalirkannya  melalui  sungai utamanya  (single outlet) (Kep. Menhut No.52/Kpts-11/2001).Kawasan sempadan sungai termasuk kawasan lindung yang fungsi utamanya ditetapkan untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup (konservasi) yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan (UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang). Dari pengertian tersebut maka pemanfaatan lahan disekitar DAS (kawasan sempadan sungai) untuk tanaman-tanaman musiman seperti sekarang terjadi termasuk menyalahi fungsi kawasan lindung apalagi beralih fungsi menjadi tempat pemukiman ataupun industri. Menurut S.Baja dalam (Young, 2000) menyebutkan beberapa macam fungsi lahan bagi kehidupan manusia, dan kawasan lindung atau konservasi termasuk berfungsi sebagai warisan (heritage functions) yang harus dipelihara keberlanjutannya. 2.2    Kondisi dan Pemanfaatan Kawasan DAS Solo saat iniSecara Umum kondisi kawasan DAS Sejak tahun 1970-an telah mengalami degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan (Eddie Effendie, Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air). Kondisi tersebut lebih parah lagi setelah otonomi daerah, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana karena kawasan DAS bersifat lintas wilayah dan adminitratif sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota. Klaim kewenangan tersebut lebih didorong oleh manfaat ekonomis kawasan tersebut daripada upaya-upaya konservasi sehingga berdampak pada semakin rusaknya kawasan DAS tersebut. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Deputi III Kementerian Lingkungan Hidup, bahwa untuk perbaikan daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo sepanjang 600 km dari hulu ke hilir dibutuhkan waktu 15 tahun hingga 20 tahun.Pada Sub DAS Bengawan Solo Hulu berupa Waduk Gadjah Mungkur tersebut memliki daerah tangkapan seluas 1350 Km2 dengan 7 buah sungai utama didalamnya. Namun permasalahan yang dihadapi adalah : (1) Di daerah tangkapan air  Waduk Gadjah Mungkur telah terjadi erosi cukup berat yang ditandai adanya permunculan batuan induk, erosi parit dan sedimentasi dari 102 Sub DAS di DAS Solo yang meliputi 23 wilayah kabupaten, ada 28 Sub DAS yang memiliki potensi erosi besar. Erosi aktual yang terjadi terkecil adalah 4,72 ton/Ha/th di Sub DAS Precel dan erosi terbesar terjadi di Sub DAS Dengkeng sebesar 195,84 ton/Ha/th (Anonimus,2002) ; (2) Daerah tangkapan air antara Gunung Merapi dan Lawu lahannya sangat subur sehingga menyebabkan perkembangan pemukiman dan industri di wilayah ini sangat pesat. Dampak yang terjadi adalah limbah rumah tangga dan limbah pabrik akan mencemari air tanah, koefisien aliran akan meningkat sehingga erosi pun secara potensial meningkat pula ; (3) Anak sungai Bengawan Solo di daerah Sragen, Ngawi, di bagian utara berasal dari daerah Pegunungan Kendeng bertipe intermitten (mengalir pada waktu musim hujan) karena daerah tangkapan air tidak terlalu luas tingkat kelulusan batuan rendah (napal), serta curah hujan ± 2000 mm/th dengan bulan kering 5-6 bulan dengan koefisiensi aliran tinggi dan langka air tanah ; (4) Bengawan Madiun mengalir dari daerah Kabupaten Ponorogo, Madiun dan Magetan. Dibagian hulu di daerah kabupaten Ponorogo kondisi lahan sangat kritis ditandai adanya erosi parit, longsor lahan dan munculnya batuan induk (S. Astuti dalam anonimus,2002) ; (5) Daerah Bengawan Solo Hilir secara fisiografi berupa Pegunungan Rembang di sebelah utara sungai, Pegunungan Kendeng di sebelah selatan sungai dan dataran aluvial. Daerah ini sering menghadapi masalah banjir dan sering terjadi intrusi air laut terutama pada musim kemarau.Pemanfaatan penggunaan lahan dilakukan menggunakan analisis tingkat kemampuan penggunaan lahan (KPL) untuk mengetahui potensi optimum dari suatu lahan (Beny Harjadi, Jurnal geografi, 2007). Sehingga kapasitas penggunaan lahan setiap unit DAS memilki tingkat pemanfaatan  lahan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya. Penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo seperti pada umumnya di DAS yang lain secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi : hutan, tegalan, perkebunan, sawah, pemukiman dan penggunaan lain. Bentuk penggunaan lahan yang ada dapat dikaji kembali melalui proses evaluasi sumberdaya lahan, sehingga dapat diketahui potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. 3.        Perlindungan Kawasan DAS3.1    Dari sisi kebijakanDalam rangka menjaga kawasan DAS sebagai kawasan lindung maka dari sisi peraturan perundang-undangan telah cukup jelas mengaturnya; Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada penjelasan pasal 5 ayat (2) mengatakan bahwa yang termasuk dalam kawasan lindung adalah: (b) kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air. Disamping itu Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara rinci mengatur tentang Prinsip Dasar Pengelolaan DAS, Kebijakan Dasar dan Pengelolaan DAS saat Otonomi Daerah. Peraturan tersebut tidak akan bermakna kalau tidak disertai political will dari lembaga pengelola DAS (Stake Holder) sehingga pemanfaatan lahan kawasan DAS, termasuk DAS Solo dapat berfungsi sebagai kawasan konservasi atau tidak terjadi alih fungsi lahan.Guna merealisasikan pelaksanaan peraturan perundang-undangan kaitannya dengan kawasan DAS, maka diperlukan strategi kebijakan sebagai berikut :1)       Perencanaan tata ruang wilayah dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan, diikuti dengan penatataan dan penegakkan peraturan secara terus menerus ; 2)       Pencegahan dan pengendalian untuk kerusakan DAS (hutan, tanah, dan air) serta memulihkan/merehabilitasi DAS yang telah mengalami kerusakan 3)       Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan DAS dan pemanfaatan air untuk berbagai keperluan ;4)       Penyelesaian hambatan-hambatan struktural dalam pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan ;Adapun Beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya air, adalah prinsip kemanfaatan, prinsip keadilan, prinsip efisiensi dan partisipasi, serta prinsip legalitas (Prastowo, 2003). 3.2 Pengelolaan lahan konservasi DAS Pengelolaan lahan konservasi DAS solo hendaknya dimulai dari lahan DAS Solo-hulu karena kondisi lahannya telah mengalami degradasi lahan yang parah hal ini diukur dari tingginya tingkat sedimentasi DAS hilir pengunungan Rembang di sebelah utara sungai dan Pegunungan Kendeng di sebelah selatan sungai dan dataran aluvial. Adapun pola penggunaaan lahan yang sangat cocok dikembangkan di DAS Solo Hulu dengan bentuk kawasan bertopografi miring, sehingga banyak erosi, pemilikan lahan sempit dengan kepadatan agraris tinggi ± 6 orang / Ha (CDMP, 2001) adalah agroforestry, yaitu menumbuhkan dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi (Abd. Razak dlm Hudges, 2000 dan Koppelman dkk.,1996). Dewasa ini lagi gencar-gencarnya program-program pemberdayaan masyarakat dibidang pengelolaan hutan dengan pendekatan partisipatory, misalkan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) atau Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) maka ada baiknya program-program diterapkan pada rehabilitasi kawasan lindung Daerah Aliran Sungai (DAS). Sistem ini  disamping bermanfaat secara ekologi juga terbukti menguntungkan pembangunan sosial ekonomi masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan multiplier effect lainnya termasuk meningkatkan kapasitas masyarakat (Anonimus, 2000)Peluang digunakannya sistem agroforestry dalam pengelolaan lahan juga disebabkan karena (Sabarnurdin, 2002) :(1) metode biologis untuk konservasi dan pemeliharaan penutup tanah sekaligus memberikan kesempatan menghubungkan konservasi tanah dengan konservasi air ;(2)  Dengan agroforestry yang produktif dapat digunakan untuk memelihara dan meningkatkan produksi bersamaan dengan tindakan pencegahan erosi ; (3) Kegiatan konservasi yang produktif memperbesar kemungkinan diterima oleh masyarakat sebagai kemauan atas mereka sendiri. Implementasi agroforestry di kawasan DAS dapat bermacam-macam model atau bentuk diantaranya adalah :a.       Riperian Buffer Forest (Hutan Penyangga tepi sungai) ; fungsinya menjaga kondisi alami di sepanjang sungai, menjaga erosi dan meningkatkan biodiversitas. Sistim penyangga tidak hanya untuk ekosistem tepi sungai, namun juga memberikan perlindungan terhadap pengeolahan tanah disekitarnya (Marseno 2004), (lihat Gambar).                                                                                                                                                                                              

 

         Sumber : Marseno, 2004                                                           Gambar 1 : Hutan Penyangga Tepi Sungai b.       Windbreaks Fungsinya untuk melindungi tanaman-tanaman pertanian yang sensitive terhadap angina seperti gandum dan sayuran (gambar.5). Pola-pola ini hampir menyerupai pola penanaman dalam agroforestry yaitu trees along border yaitu penanaman tanaman kehutanan di sekitar tanama pertanian (Sabarnurdin,2004)

 

         Sumber : Marseno, 2004                                                               Gambar 2 : Hutan Pemecah Angin  3.2         Pemberian kredit lunak bagi masyarakat Pemberian kredit kepada warga yang mengelola lahan disekitar sungai dimaksudkan agar beralih fungsi tanaman, dari tanaman produktif menjadi tanaman keras (tahunan). Dengan cara agroforestry maka masyarakat disatu sisi turut menjaga lahan konservasi juga tidak kehilangan sumber penghasilan karena dapat mengelola tanaman-tanaman produktif secara tumpang sari. Departemen Kehutanan bekerjasama dengan instansi terkait dalam prorgam agroforestry membantu permodalan petani melalui pemberian Kredit Usahatani Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK-DAS). Tujuan KUK – DAS adalah (1) Mengurangi erosi dan mengendalikan sedimentasi (jangka panjang) (2) Meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas/intensifikasi pertanian lahan kering ; (3) Merubah perilaku petani agar mampu menjadi pengelola dan pelestari sumberdaya alam ; (4) Meningkatkan peran kelembagaan terkait yaitu Kelompok Tani, Koperasi Unit Desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa dan lainnya dan(5) Mendekatkan dan meningkatkan pengetahuan petani terhadap jasa perbankan. Namun hendaknya dipahami bahwa cara pemberian kredit tersebut hanya merupakan stimulan bagi masyarakat untuk mengelolah lahan konservasi dengan cara agroforestry bukan menjadikan sifat warga merasa ketergantungan terhadap kredit tersebut.  4.       Dampak 4.1 Menurunnya kualitas Sumber Daya Air Akibat degradasi lahan DAS berimplikasi pada menurunnya mutu kualitas air, baik di daerah hulu maupun hilir. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pengelolaan sumberdaya alam di daerah ini akan berdampak pada kualitas tanah dan air sekitar DAS tersebut. Usaha-usaha pertanian disini haruslah diupayakan mengadopsi teknologi-tenologi yang mangacu pada prinsip-prinsip konservasi, karena perubahan vegetasi seperti keterbukaan lahan, maka akan berdampak kepada peningkatan erosi, dan dampak-dampak lain yang berkaitan dengan degradasi lahan (Abdul Razak, 2008).Bagian hulu adalah zona terpenting yang perlu diperhatikan dalam upaya pelestarian Daerah Aliran sungai. Pengelolaan sumberdaya alam di daerah ini akan berdampak pada kualitas tanah dan air sekitar DAS tersebut. Menurut Zulrasdi et, al (2005) Kerusakan daerah aliran sungai sangat erat hubungannya   dengan   kelestarian   hutan   di daerah  hulu  sebagai  daerah  tangkapan  hujan. Apabila  hutan  mengalami  kerusakan,  maka dapat  dipastikan  terjadi  banjir  pada  daerah aliran sungai. Untuk itu berusaha tani di daerah DAS, harus diikuti konservasi lahan.Bentuk model pengelolaan DAS antara daerah hulu dan hilir dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun adminstratif menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta penyediaan pendanaan di asosiasikan seperti  struktur di bawah (eddie effendie, Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air ) :Gambar 3 : Model Pengelolaan DAS

Pengelolaan

Ekosistem DAS 

       

 

                               

Hulu – Hilir

DAS

Ekonomi, Sosial Budaya
Batas Ekologi/Adminstrasi
Lahan/Air

         

Teknologi

Kelembagaan
Pendanaan

    

 

4.2 Kerusakan EkologiPertimbangan kawasan ditetapkan sebagai kawasan lindung karena pertimbangan ekologis, yaitu ekosistem atau sistem ekologi yang merupakan satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup dari berbagai jenis dengan berbagai benda mati yang saling berinteraksi, saling ketergantungan dan berkelanjutan (S.Baja.2007). Selanjutnya kelestarian  penggunaan lahan (dalam konteks kawasan lindung DAS Solo) sangat ditentukan oleh cara pandang dan persepsi pengambil keputusan (decision maker) dan pengguna lahan (land manager). Cara pandang tersebut dapat berupa maksimalisasi fungsi ekonomi, sementara meminimalisasi fungsi ekologi, atau sebaliknya, atau berupa penekanan pada aspek keberimbangan dan keadilan antara ekonomi dan ekologi. Dalam hubungannya dengan kawasan DAS di seluruh Indonsia nampaknya pertimbangan ekonomi menjadi pertimbangan utama. Ketidak berdayaan lembaga pengelola DAS menyebabkan kawasan DAS Solo telah mengalami beban penggunaan yang luar biasa dan tentunya telah melebihi kapasitas daya dukungnya. Perubahan bentang alam sepanjang kawasan DAS, baik akibat eksploitasi hutan yang tak terkendali maupun karena kian padat dan besarnya wilayah resapan air yang berubah fungsi menjadi kawasan permukiman dan/atau aktivitas ekonomi, dengan sendirinya akan menambah beban pada daya dukung lingkungan di kawasan bersangkutan. Kompas (19 Juni 2007) melaporkan bahwa kerusakan ekologi/ lingkungan DAS Solo setara dengan kerusakan yanga terjadi di P. Sumatera dan Kalimantan dan di berbagai DAS seperti Batanghari, Musi. Anggata DPR komisi IV, Azwar Anas mengingatkan dan memprediksi bahwa pada tahun 2020 pulau Jawa akan terendam air bila tidak dilakukan evaluasi tata ruang. Bisa dibayangkan 60% penduduk Indonesia berada di Jawa yang memiliki daya dukung alam rendah mengingat hutannya tersisa kurang dari 15% luas daratannya.4.3 Bencana AlamAlam diciptakan dalam keadaan keseimbangan. Pertukaran tarnsformasi materi dan energi antar populasi dalam ekosistem berlangsung setiap saat dan kontinyu sehingga terpelihara proses kehidupan secara berkelanjutan.  Bencana alam akan terjadi apabila hubungan antar populasi dalam ekosistem tidak saling menguntungkan demikan sebaliknya. Dalam beberapa dekade manusia telah mengabaikan makhluk lain (hewan dan tumbuhan) dalam pengelolaan sumberdaya alam dan sebagai faktor penentu dalam mengelolahnya, sehingga hak-hak makhluk lain terabaikan (antroposentric), dan dalam penentu pemanfaatan lahan disebut (antropogenic). Hal ini mendorong eksploitasi Sumber Daya Alam secara besar-besaran. Ketersediaan sumberdaya alam terbatas sementara populasi makhluk hidup terus bartamah. Sekalipun dalam beberapa hal teknologi dapat meningkatkan kapasitas sumberdaya atau bahkan memperbaharui namun tetap masih tidak dapat menghindari kelangkaan sumberdaya (scarcity resources).  Bencana banjir di kawasan DAS Solo yang baru saja terjadi, sebagai bukti bahwa kawasan DAS Solo sepanjang 548,53 kilometer yang terletak pada 12 kab/kota kondisinya sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut disebabkan oleh rusaknya kawasan konservasi di DAS Solo-Hulu, rusaknya lahan konservasi sepanjang DAS, lahan konservasi telah beralih fungsi menjadi pemukiman dan industri, serta aktivitas manusia yang tidak terekndali di Daerah Aliran Sungai misalkan penambangan pasir secara berlebihan, sehingga sungai bengawan solo tidak mampu menampung luapan air dari daratan maupun dari hulu. 5. Penutup            Ledakan penduduk yang tidak terkendali menyebabkan meningkatnya pemanfaatan lahan di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo sebagai lahan pertanian, pemukiman dan industri. Hal ini mempengaruhi fungsi ekologi kawasan DAS Solo yang diperuntukkan sebagai kawasan konservasi/lindung yang memilki fungsi perlindungan terhadap kelestarian ekosistem Daerah Aliran Sungai. Rusaknya  kawasan Daerah Aliran Sungai berimplikasi bukan hanya kepada rusaknya ekosistem semata tetapi juga nilai Kawasan DAS sebagai sumber daya pembangunan.            Kondisi Kawasan DAS termasuk DAS Solo kondisinya sangat mengkhawatirkan dilihat dari daya dukung lingkungan (diperkirakan butuh waktu 15 – 20 tahun untuk kembali kondisi semula dengan asumsi mulai sekarang tidak terjadi alih fungsi lahan). Pengembalian fungsi lahan sebagai suatu keharusan dan merupakan kewajiban generasi kina guna mempersipkannya pada generasi mendatang agar sumber daya (kawasan DAS) berkelanjutan. Dampak yang diakibatkan adalah bencana alam dan mengakibatkan kerugian yang cukup besar, sementara potensi bencana alam terus mengancam.Perlindungan terhadap kawasan Daerah Aliran Sungai dipengaruhi oleh (i) Penentu kebijakan dalam menerapkan perundang-undangan yang ada ; (ii) Strategi pengelolahan yang digunakan ; (iii) Partisapasi atau keterlibatan masyarakat. Disamping itu sebagai satu kesatuan kawasan dengan kawasan lainnya maka penataan ruang kawasan DAS dilakukan secara terpadu dan terintegrasi dengan tata ruang kabupaten, propinsi maupun nasional sehingga menjadi satu kesatuan pengelolaan. Kawasan DAS termasuk lintas Kabupaten maupun propinsi  sehingga tidak dibatasi secara adminitratif wilayah sehingga pengelolaan dilakukan oleh nasional dengan tetap mengkoordinasikan dengan daerah.             Daftar Pustaka1. Anonim, 2007. 60 DAS di Indonesia Minta Prioritas Penanganan, Kompas Online. http://www.terranet.com2. Abdul Razak, 2008,Agroforestry, Upaya Konservasi Tanah Dan Air Dalam Pengelolaan   Daerah Aliran Sungai  (Das), Kehutanan, jogyakarta3.  Beny Harjadi, 2007, Aplikasi Penginderan Jauh & Sig Untuk Penetapan Tingkat  Kemampuan                       Penggunaan Lahan (Kpl) Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 69 – 774.  E. Effendie, Dir. Kehut dan Konserv.2007, Kajian    Model   Pengelolaan Daerah Aliran Sungai                         (Das) Terpadu, Bappenas, Jakarta5.  Horizon, 12-01-2008 6.  Kompas (16-01-08)7.  Kompas 19 Juni 20078. Marseno Djagal W. 2004. Post Harvest Technology Development And Dissemination Of  Agroforestry-Based Products, Presentasi Workshop Agroforestry 2004, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta9.  Men Hut. 2001, Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Pedoman Penyelenggaraan   Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) 52/Kpts-II/2001, Jakarta10. Prastowo, 2003,  Masalah  Sumberdaya  Air Di Indonesia:   Kerusakan Daerah Aliran Sungai                  Dan Rendahnya Kinerja Pemanfaatan Air11. Pemberitaan Aspirasi Bangsa,11 Januari 200812. S.Baja, 2007,    Makalah     Pengendalian    Alih     Fungsi   Lahan Pertanian dalam perspektif       Keberlanjutan Fungsi Ekologi dan Pemanfaatan Ruang, Unhas, Makassar. 13  S.Baja, at al, 2002a. A conceptual model for defining and assessing land management units using a fuzzy modelling approach in GIS environment. Environmental Management, Volume 29: 647-661. 14.  Sri Astuti Soedjoko, 2007. Pengelolaan Sumberdaya Lahan, Jakarta.15.  Sabarnurdin, M. Sambas. 2004. Agroforestry : Konsep,  Prospek Dan Tantangan Presentasi Workshop Agroforestry 2004, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta16.   Undang-Undang Republik Indonesia, 2007, Tentang Penataan Ruang, Jakarta 

Leave a comment